Sabtu, 08 September 2012

Diagnosa TB Sesuai ISTC



Penyakit Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, bukan saja di dunia atau nasional tetapi juga di Jawa Barat, Penanggulangan TB sampai saat ini belum berhasil dengan optimal. Salah satu kendalanya adalah cara pengobatan yang salah, tidak berkualitas dan tidak sesuai dengan standar penanganan TB.
                Hal-hal tersebut akan dapat mengakibatkan pelayan pengobatan terhadap penderita TB yang di bawah standar dan sebagai akibatnya hasil pengobatan yang buruk, penderita tetap infeksius dan menularkan pada anggota keluarga dan masyarakat disekitarnya. Dampak buruk lainnya adalah penderita bisa menjadi resisten terhadap multiple obat  anti tuberkulosis, sehingga semakin sulit diobati dan memerlukan waktu yang lama serta biaya yang mahal.
                ISTC (International Standards for Tuberculosis Care) merupakan standar yang melengkapi pedoman program penanggulangan TB Nasional yang di rekomendasikan oleh WHO. ISTC telah di dukung oleh berbagai organisasi kesehatan baik internasional maupun nasional, antara lain KNCV,  ATS, IUATLD, US CDC dan di Indonesia telah didukung oleh IDI, PDPI, PAPDI, IDAI, POGI, PAMKI.
Tujuannya memberikan penjelasan standar penanganan TB yang dapat diterima luas di setiap tingkat pelayanan oleh semua praktisi, baik instansi pemerintah maupun swasta dalam menangani pasien yang diduga atau menderita TB, memberikan pelayanan bermutu tinggi kepada pasien TB meliputi semua usia, BTA positif  ataupun negatif, ekstraparu, MDR (multiple Drugs Resistance), HIV dengan TB.
ISTC terdiri dari 17 standar :
· 6 standar diagnosis
· 9 standar terapi
· 2 standar tanggungjawab kesehatan masyarakat.

Dalam ‘Clinic Corner’ kali ini akan di bahas mengenai 6 standar diagnosis.

Standar 1 : Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis (TB).

Mengapa 2-3 minggu ?
Hasil penelitian di India (2005), mengatakan bahwa kasus TB yang terdeteksi meningkat 46% pada pemeriksaan setelah batuk 2 minggu dibanding batuk 3 minggu.
Standar 2 : Semua pasien (dewasa, remaja dan anak yang dapat mengeluarkan dahak) yang diduga menderita TB paru harus menjalani pemeriksaan dahak  mikroskopis minimal 2 dan  sebaiknya 3 kali.  Minimal satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.  
Pemeriksaannya mudah, dapat dilakukan di hampir semua pusat pelayanan kesehatan. Data terakhir menunjukkan :
· Pemeriksaan Sputum 1 : positif 83-87%
· Pemeriksaan Sputum 2 : positif bertambah 10-12%
· Pemeriksaan Sputum 3 : positif bertambah 3-5%
Standar 3 : Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopis dan jika tersedia fasilitas dan sumber daya, dilakukan  pemeriksaan biakan  dan histopatologi.
Hal ini dikarenakan sedikitnya Mycobacterium Tb . yang ditemukan pada ekstra paru. Pada pleuritis TB BTA positif hanya 5-10%, pada meningitis TB lebih rendah lagi.
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya TB paru dan TB millier.
Standar 4 : Semua orang dengan  gambaran  foto toraks  diduga   tuberkulosis seharusnya  menjalani pemeriksaan dahak  secara mikrobiologi.
Hasil penelitian dari 2229 pasien yang dilakukan pemeriksaan foto toraks, 227 pasien dianggap TB, 36 % ternyata BTA negatif, sisa nya (2002 pasien) yang dianggap tidak TB, ternyata pada 31 pasien kultur BTA nya positif.
Standar 5 : Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan pada kriteria berikut :
· Minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali  negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari)
· Gambaran foto toraks sesuai tuberkulosis
· Tidak ada respon terhadap antibiotika spektrum luas (Catatan :  fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadapM.Tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis).
Untuk pasien ini, jika tersedia fasilitas, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang diduga terinfeksi HIVevaluasi diagnostik harus disegerakan.
Standar 6 : Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura dan kelenjar getah bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis dan terdapat riwayat kontak atau uji kulit tuberkulin atau interferron gamma release assay positif.
Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasilitas, harus dilakukan pemeriksan biakan dari bahan yang berasal dari batuk, bilas lambung atau induksi dahak.
                Dengan berdasarkan 6 standar diagnosis di atas, diharapkan setiap dokter baik dari instansi pemerintah maupun swasta dapat mendiagnosis penderita TBC dengan tepat sehingga  menurunkan angka kesakitan dan kematian karena TB , resiko penularan TB, mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat TB sehingga TB tidak menjadi masalah lagi bagi Indonesia pada umumnya dan Jawa Barat pada khususnya.

6 standar diagnosis.
Standar 1 : Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis (TB).
Mengapa 2-3 minggu ?
Hasil penelitian di India (2005), mengatakan bahwa kasus TB yang terdeteksi meningkat 46% pada pemeriksaan setelah batuk 2 minggu dibanding batuk 3 minggu.
Standar 2 : Semua pasien (dewasa, remaja dan anak yang dapat mengeluarkan dahak) yang diduga menderita TB paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopis minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Minimal satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
Pemeriksaannya mudah, dapat dilakukan di hampir semua pusat pelayanan kesehatan. Data terakhir menunjukkan :
· Pemeriksaan Sputum 1 : positif 83-87%
· Pemeriksaan Sputum 2 : positif bertambah 10-12%
· Pemeriksaan Sputum 3 : positif bertambah 3-5%
Standar 3 : Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopis dan jika tersedia fasilitas dan sumber daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.
Hal ini dikarenakan sedikitnya Mycobacterium Tb . yang ditemukan pada ekstra paru. Pada pleuritis TB BTA positif hanya 5-10%, pada meningitis TB lebih rendah lagi.
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya TB paru dan TB millier.
Standar 4 : Semua orang dengan gambaran foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
Hasil penelitian dari 2229 pasien yang dilakukan pemeriksaan foto toraks, 227 pasien dianggap TB, 36 % ternyata BTA negatif, sisa nya (2002 pasien) yang dianggap tidak TB, ternyata pada 31 pasien kultur BTA nya positif.
Foto toraks bermanfaat pada kasus-kasus BTA negatif.
Standar 5 : Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan pada kriteria berikut :
· Minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari)
· Gambaran foto toraks sesuai tuberkulosis
· Tidak ada respon terhadap antibiotika spektrum luas (Catatan : fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M.Tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis).
Untuk pasien ini, jika tersedia fasilitas, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.
Standar 6 : Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura dan kelenjar getah bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis dan terdapat riwayat kontak atau uji kulit tuberkulin atauinterferron gamma release assaypositif.
Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasilitas, harus dilakukan pemeriksan biakan dari bahan yang berasal dari batuk, bilas lambung atau induksi dahak.
Dengan berdasarkan 6 standar diagnosis di atas, diharapkan setiap dokter baik dari instansi pemerintah maupun swasta dapat mendiagnosis penderita TBC dengan tepat sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian karena TB , resiko penularan TB, mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat TB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar